Warsubi, Bupati yang Tak Bisa Dipetakan dengan Warna

JOMBANG – Wacana “ijo-abang” kembali mencuat dalam membaca politik dan kultur Jombang di tengah dinamika daerah yang terus bergerak. Seolah-olah, kehidupan sosial dan kepemimpinan di daerah ini hanya bisa dipahami melalui dua warna besar: ijo, yang merepresentasikan kultur santri dan pesantren, serta abang, yang kerap dipandang sebagai simbol nasionalis atau kejawen. Dua warna ini memang sudah lama menjadi cara mudah orang luar memotret Jombang—sebagai pusat pesantren sekaligus pusat pergerakan politik nasionalis.

Namun, ketika tafsir ini dipaksakan untuk membaca kepemimpinan Bupati Warsubi, analisis tersebut terasa sempit. Warsubi bukan milik kelompok kultur tertentu, bukan representasi dari warna hijau maupun merah. Ia hadir sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, dan mandat itu berasal dari seluruh warga Jombang, bukan dari segelintir kelompok. Menyederhanakan kepemimpinan Warsubi hanya sebagai bagian dari “ijo-abang” justru mengurangi makna demokrasi itu sendiri.

Kepemimpinan yang Menyapa Semua

Warsubi adalah sosok yang benar-benar tumbuh dari bawah. Tiga periode menjabat sebagai Kepala Desa Mojokrapak, Kecamatan Tembelang, telah membentuk karakter kepemimpinannya yang akrab dengan denyut kehidupan rakyat. Ia terbiasa mendengar keluhan langsung di sawah, di pos ronda, atau di warung kopi. Maka ketika dipercaya duduk di kursi bupati, gaya kepemimpinan membuminya itu tetap tidak luntur.

Ia hadir di pesantren, ia juga hadir di balai desa. Ia bisa akrab dengan kiai sepuh, sekaligus tak canggung bercanda dengan petani bawang. Ia bisa berbicara dengan akademisi, tapi juga sama nyaman ngobrol dengan sopir angkot.

Jika hanya dibaca dengan kacamata “ijo-abang”, Warsubi akan terlihat sempit. Padahal yang sedang ia bangun adalah keterhubungan lintas kultur. Ia tidak hanya melayani “ijo” atau “abang”, ia bekerja untuk memastikan seluruh warga Jombang merasakan dampak kepemimpinan yang nyata: jalan yang diperbaiki, irigasi yang kembali lancar, pelayanan publik yang lebih mudah diakses. Itu bukan kerja untuk warna tertentu, tapi kerja untuk semua.

Bagaimana saat ini Warsubi berupaya membangun manajemen politik yang seimbang, agar dinamika terkait kenaikan pajak maupun tuntutan tunjangan DPRD tidak menimbulkan kesan menjauh dari kepentingan rakyat. Ia menekankan pentingnya efisiensi anggaran serta optimalisasi pelayanan publik, sembari membuka ruang dialog agar setiap keputusan dapat dipahami sebagai langkah bersama untuk kemajuan Jombang.

Baca Juga :  Peringati Hari Anak Nasional 2025 bersama Menteri PPPA, Gubernur Khofifah: Anak Jatim Harus Tumbuh dengan Bahagia dan Bebas dari Kekerasan

Membongkar Kesan Elitis

Memang, secara materi Warsubi bukan orang kekurangan. Ia dikenal cukup mapan. Tetapi justru hal itulah yang membuatnya tidak sibuk memperkaya diri ketika menjadi bupati. Ia tidak datang dengan gaya protokoler kaku. Ia tidak memoles citra dengan simbol kekuasaan yang berjarak.

Orang Jombang masih ingat ketika Warsubi datang ke posko relawan pengaduan kenaikan pajak, hanya dengan membawa setandan pisang susu. Istrinya, Yuliati Nugrahani, pun ikut menenteng melon. Sebuah simbol sederhana yang seketika meruntuhkan kesan elitis seorang pejabat daerah. Bukan sosoknya yang elit, melainkan sistem lama yang terlalu sering membangun tembok antara penguasa dan rakyat.

Di titik ini, Warsubi seolah ingin menghapus garis pembatas itu. Ia ingin menunjukkan bahwa menjadi bupati bukan berarti duduk di menara gading. Ia ingin hadir sebagai bagian dari masyarakat, bukan sebagai “orang atas” yang hanya bisa ditemui lewat protokol berlapis. Hal ini tampak jelas: pendopo kabupaten selalu terbuka bagi masyarakat Jombang yang ingin datang menyampaikan aspirasi, sementara kediamannya di Mojokrapak pun meski dijaga satpam tetap longgar bagi siapa saja yang ingin bertamu.

Jombang Bukan Warna, Tapi Warga

Sejarah memang menuliskan Jombang sebagai pertemuan dua kultur besar: santri dan nasionalis. Bahkan, nama “Jombang” sering disebut lahir dari singkatan “ijo-abang.” Namun, sejarah itu seharusnya dipahami sebagai simbol persatuan, bukan sebagai sekat yang memisahkan.

Hari ini, Jombang tidak bisa hanya dilihat dengan dua warna itu saja. Warga Jombang adalah mozaik. Ada guru, pedagang, buruh, santri, petani, ASN, pengusaha, komunitas seni, dan generasi muda yang hidup dalam dinamika digital. Mereka semua punya suara, punya kebutuhan, dan punya harapan.

Warsubi berusaha menjahit mozaik itu. Ia tahu bahwa masa depan Jombang bukan sekadar menjaga keseimbangan antara hijau dan merah, tapi membangun ruang yang bisa menampung semua warna. Karena politik hari ini tidak cukup lagi dipahami lewat dikotomi kultur lama. Politik hari ini menuntut pelayanan nyata: apakah sekolah bisa diakses? Apakah kesehatan terjangkau? Apakah lapangan kerja tersedia?

Baca Juga :  Serahkan Santunan Untuk Korban Laka Kereta Api di Magetan, Gubernur Khofifah Evaluasi Keamanan Perlintasan Sebidang

Dan jawaban atas semua pertanyaan itu tidak bisa datang hanya dari satu kultur. Jawaban itu harus lahir dari kerja kolektif seluruh warga, dengan bupati sebagai penggeraknya.

Warsubi dan Rakyat: Hubungan yang Lebih Asik

Membaca Warsubi lewat kacamata “ijo dan abang” seperti menonton film dengan kacamata hitam-putih. Semua jadi terlihat redup, tanpa warna lain yang sebenarnya lebih hidup. Padahal, gaya kepemimpinan Warsubi jauh lebih asik kalau dilihat dari hubungannya dengan rakyat.

Ia tidak sibuk menjaga simbol warna. Ia lebih suka sibuk menata pasar, memperbaiki jembatan, mengurusi distribusi pupuk dan membantu orang yang membutuhkan. Ia tidak memoles diri sebagai ikon kultur tertentu. Ia lebih memilih blusukan, bercengkerama dengan warga, bahkan menertawakan dirinya sendiri.

Hubungan ini yang membuat Warsubi terasa berbeda. Ia bukan sekadar pejabat, tetapi hadir sebagai tetangga yang kebetulan diberi mandat memimpin. Dan mandat itu, sekali lagi, datang bukan dari ijo atau abang, tapi dari rakyat Jombang secara keseluruhan.

Terakhir

Warna ijo dan abang boleh jadi bagian dari sejarah Jombang. Tetapi hari ini, menempelkan tafsir itu pada kepemimpinan Warsubi hanya akan mengecilkan ruang gerak demokrasi. Warsubi bukan representasi warna, ia adalah representasi rakyat.

Meski kehadiran Gus Salmanudin Yazid sebagai wakil bupati yang berasal dari NU—yang secara kultur jelas melambangkan “ijo”—tidak lantas otomatis membuat Warsubi ditempatkan pada kubu “abang.” Duet keduanya justru memperlihatkan hal sebaliknya: bahwa politik Jombang tidak lagi bisa direduksi menjadi pertarungan warna, melainkan kerja sama lintas kultur untuk rakyat.

Warsubi bukan milik abang, bukan pula milik ijo. Ia milik Jombang. Milik petani yang ingin sawahnya mendapat air, milik pedagang yang ingin pasar tetap ramai, milik santri yang ingin akses pendidikan, milik buruh yang ingin pekerjaan layak, dan milik pemuda yang ingin ruang berekspresi.

Itu jauh lebih penting, jauh lebih bermakna, dan jauh lebih asik ketimbang terus-terusan terjebak dalam simbol warna. Karena pada akhirnya, politik bukan soal siapa ijo atau siapa abang, tapi siapa yang benar-benar hadir untuk rakyat.***

Kreator: Pliplo Society